Kami adalah dua cangkir teh. Orang, keadaan dan suasana bisa mengubah kami. Mulai dari yang manis hingga pahit. Ditambahkan gula, kami manis. Tapi kami tetap teh. Ditambahkan susu, kami legit. Tapi kami tetap teh. Ditambahkan buah, kami bersensasi, baik kecut maupun manis. Tapi kami tetap teh. Dibuat apapun, dibuat berapa kali pun, tak berubah. Kami tetap teh.
    "Kunamai kau creamy milk tea"
    "Jika begitu, kamu the dark brown sweet tea"
    "Itu teh biasa kan? Ah"

Teh atau "Teh"



    "Siapa bilang? Belum tentu semua orang mendapatkan sisi manismu. Dan belum tentu, kau memberikan rasa manismu pada semua orang yang tak bisa mengerti 'karaktermu' meskipun semua orang berusaha terbiasa, kau tetap tak akan menunjukkan pada semuanya. Sedangkat teh biasa, akan menunjukkan tanpa basa basi."

    "Sedalam itu?"
    "Kau saja tak mengerti. Lagi pula, saat orang merasakan pahitmu sedikit saja, ada yang beralih dan berpaling kan? Namun ada yang tidak karena ia memahami 'karakter'mu yang memang tak diciptakan untuk manis sebagaimana yang lain"

    "Tak kusangka hahaha. Jika memang begitu kita akan selalu bersanding"
    "Maksudmu?"
    "Saat orang merasa terlalu pekat, mereka akan mencari pengencer dengan tidak mengubah nilai rasa serta cita rasa agar tetap nyaman di lidah mereka. Lalu hadirlah kau atasku"
    "Tapi bukankah kau bisa lebih fleksibel dibandingkan aku? Orang bisa merasakan apa saja sesuai dengan lidah mereka. Sedangkan aku? Aku sudah spesifik. Apa istimewanya aku?"
    "Istimewanya kamu? Karena hanya kau yang kuinginkan untuk melengkapi kekuranganku"
    "Saat teh tak lagi hangat dan menenangkan. Rasa manis menjadi hambar. Saat teh menjadi dingin, semua orang akan menyepelekannya dan akan ditinggalkan begitu saja meskipun kamu tetap teh. Semua orang bisa merasakan ketenangan dan kenyamanan. Musiman. Tak setiap waktu teh bisa memberi ketenangan dan kenyamanan. Terkadang terlalu panas hingga membakar lidah hingga mati rasa. Terkadang terlalu dingin hingga ngilu. Terlebih lagi saat dibiarkan tak habis, kami akan dingin dengan sendirinya, membuat orang lain melirik saja tak bisa. Ditambah es pun, tak akan mengubah keadaan. Meskipun kami tetap teh".
    "Kau berlebihan. Kau terlalu pada siapa saja".
    "Kenapa dingin dan menggertak?"
    "Kau sama seperti orang lain. Kau butuh aku saat aku hangat atau panas. Saat dingin bukan karena es, kau juga ikut dingin padaku."
    "Dengan adanya kau. dan berubah menjadi creamy, apa kau akan berubah menjadi hangat? Tidak akan? Akan tetap dingin dengan sendirinya kan?"
    "Memang"
    "Lalu jangan menggertakku, Aku hadir atasmu dan aku menyesuaikan diriku terhadap mu. Saat orang tak lagi melirikmu dan tak membutuhkanmu, aku akan tetap mampu melengkapimu, tak membuatmu merasa sendiri, tapi kau malah memandangku seperti itu"
 
    Saat emosi sesaat meluapkan segalanya. Saat apa yang diucapkan begitu saja menjadi sangat mudah disesali. Sudah saatnya apa yang kita lakukan menjadi sebuah bahan refleksi diri, mencoba menilik dengan pandangan hati, apa yang disebabkan oleh amarah. Seperti teh yang mendidih orang akan menantinya reda untuk lebih bisa mengenalnya, Seperti teh yang dingin karena orang menambahkan es padanya. Ibarat emosi seseorang yang reda dengan sendirinya. Seperti teh mendidih yang nantinya akan dingin dengan sendirinya, lalu terabaikan. Siapa yang akan menenggak teh yang sudah lama terabaikan dengan senang hati dan merasakan kenikmatannya seperti sebelumnya? Pandailah membaca keadaan dan menjaga perasaan agar apa yang tak tampak menjadi mampu dirasa dan dimengerti.

@LongDistance_R


Leave a Reply

Pennyka Trifikta Rimbi. Powered by Blogger.