Aku menulisnya kala sunyi sepi menghantarjanku
ke sebuah rasa klasik yang seakan tak mau beranjak dari benakku. Aku tenggelam dalam indahnya rindu. Benakku merenung,
mengalir saja semua kata ini terucap tak terpikirkan sebelumnya, rasa-rasanya
tak ada habisnya jika kau menghitung seberapa banyak aku merindumu. Kau tahu? Aku
tak baik-baik saja. Seperti kehilangan separuh atasku. Misalkan saja kau tak
meyakinkanku sekuat itu, aku tak tahu lagi. Semuanya buyar.
Kau tahu? Aku suka
menulisnya, ini sesuatu yang tak kan bisa ku ucapkan secara langsung di
hadapanmu. Aku tak perlu menangis untuk apa yang kurasakan. Cukup dengan kau
membacanya, semoga kau mengerti.
Maafkan bila surat ini
kurang romantis, tak bisa memenuhi ekspektasimu terhadap kemampuan berbahasaku.
Maaf juga bila surat ini tak penuh kejutan, tak gombal dan tak cukup
mengungkapan cinta dan rinduku padamu. Tapi setidaknya, ini mewakilinya. Bisa jadi
surat ini malah membuatmu tertawa, karana seharusnya, dengan berbalas pesan
saja semua maksudku sudah bisa tergambar.
Aku sungguh
menginginkanmu, aku sungguh merindukanmu. Yah, tapi aku masih cukup sabar dan
akan terus sabar menantimu. Tak perlu khawatir, semua terjaga dengan baik. Seperti
sebelumnya dan akan tetap terus terjaga. Tentu saja, disana pasti banyak yang
menggodamu dan berkomentar bahwa hubungan kita rapuh, tapi awas saja, akan
kubuktikan bahwa semua perkataan mereka salah dan pada akhirnya mereka akan
cemburu.
Perasaanku terhadapmu
tak akan pernah berubah. Meskipun ada dikejauhan, aku akan tetap menjagamu,
menjaga cintamu, menjadi yang kau butuhkan dan belajar menjadi yang terbaik
untukmu. Jadi, sudah sejauh ini, aku tak akan membuatmu ragu akanku.
Kau baik-baik saja
bukan? Maaf aku kurang sempurna menjagamu, aku tak bisa ada saat kau sakit dan
membutuhkan aku. Meskipun aku percaya kau pasti baik-baik saja, tetapi sebagai
kekasih, aku merasa kurang bisa memenuhi peranku. Tak adil ya, aku yang
secinta ini padamu barada di tempat yang jauh dari orang-orang yang kucinta. Tapi,
memang beginilah. Setiap ujian pasangan itu beragam. Semakin kuat pasangan itu, semakin
berat pula ujian yang datang. Saat kita lolos dan layak, belum begitu saja
berakhir, masih ada serangkaian ujian yang tentu saja tanpa pengulangan. Sekali
gagal, kita haus tetap melangkah sambil membenahi apa yang sudah seharusnya
dibenahi, bukan dengan kabur dan menyerah di tengah. Kita tak akan mampu
memutarbalikkan waktu untuk kembali ke sebuah masa yang ingin kita benahi. Istilahnya,
tak ada remidi. Kita cukup kuat untuk hal itu, aku yakin.
Lucu saja ya bercakap
lewat surat seperti ini, kau tak memandangku, kau tak mendengar suaraku. Bagaimana
rasanya? Kata orang berkirim surat itu romantis. Tapi, aku minta maaf jika tak
ada sisi romantis dari surat ini. Yang jelas aku menulisnya dengan hati-hati
dan penuh rindu.
Kau pernah bilang, “Biarkan
saja apa yang terjadi, terjadi seperti sebagaimana mestinya, aku ada
mendampingimu aku tak akan membiarkanmu begitu saja”.
Sudah berapa lama? Berapa
lama lagi? Tak ingin ku terkesan menagihmu. Aku ingin mengulsng semua memori
itu. Saat hal itu terjadi, semuanya menyenangkan, seakan tak ingin ku sudahi. Tapi,
saat semua itu menjadi kenanganm aku sangat berusaha menyudahi memikirkannya. Semua
memori itu menyedihkan untukku. Sekarang, aku sudah mencoba berpura-pura tak
terjadi suatu apa pun, aku sudah menambah kesibukanku, tapi hasilnya sama saja.
Payah!
Semakin sunyi dan
langit kelam menghantarkanku ke dalam perasaan rindu, jauh lebih dalam dari
sebelumnya. Kita berada di bawah bintang yang sama dan sinar rembulan yang
sama. Tapi, saat ini kita tak bisa berada di tempat yang sama untuk
membicarakan keindahan itu. Bertemu di batas rindu, kau tahu jalan untuk
menjemputku, kau akan menemukanku, tunggu saja dan aku akan melihatmu dan
menggenggam tanganmu untuk tak melepasnya.
Dengan semua perasaan
yang bercampur dan keyakinan akan semua mimpi serta tujuan yang kita miliki,
aku pegangn teguh semua komitmen kita. Hai itu pasti akan datang, saat kita tak
akan terpisahkan dan ‘layak’ untuk dipersatukan.
Dengan segenap hatimu,
“Beli paku pulangnya kena palak, cepat jemput aku rinduku sudah memuncak”.
@LongDistance_R